Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
Perlindungan konsumen adalah istilah yang
dipakai untuk menggambarkan perlindungan
hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya
dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Pada hakekatnya,
terdapat dua istrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan
perlindungan konsumen di Indonesia, yakni pertama Undang-Undang Dasar 1945,
sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tujuan pembangunan nasional bertujuan diwujudkan melalui sistem pembangunan
ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang
memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen Pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan
perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek
hukum.Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik,
melainkan terlebih-lebih haknya yang bersifat abstark. Dengan kata lain,
perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan
hukum tentang hak-hak konsumen
Pelaku
usaha secara umum adalah orang atau badan hukum yang menghasilkan barang-barang
dan/atau jasa dengan memproduksi barang dan/atau jasa tersebut untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat atau konsumen dengan mencari keuntungan dari barang-barang
dan/atau jasa tersebut. Undang - undang perlindungan konsumen (UUPK) tampaknya
berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata
“konsumen”. Sehingga digunakan kata “pelaku usaha” yang mempunyai makna lebih
luas, dimana istilah pelaku usaha ini dapat berarti juga kreditur (penyedia
dana), produsen, penyalur, penjual dan terminologi lain yang lazim diberikan.
Menurut
pasal 1 angka (3) UUPK, yang dimaksud pelaku usaha adalah “Setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan suatu pengertian yang dimaksud pelaku usaha
adalah seperti yang dimaksud dalam pasal 1 angka (3) UUPK, yaitu setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi. Sedangkan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhlukhidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Lahirnya Undang-Undang ini
memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan
atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa, dimana
Undang- Undang Perlindungan Konsumen menjamin adanya kepastian hukum bagi
konsumen. Dalam UUPK ini yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.
Di
dalam penjelasan pasal 2 UUPK menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembagunan
nasional, yaitu:
1.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesarbesarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secra keseluruhan.
2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepeda konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spirituil.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan
atas kesamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
Konsumen memiliki hak dasar dalam Guidelenes For Consumer Protection Of 1985 yang
dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyatakan: Konsumen dimanapun mereka berada memiliki hak-hak
dasar sosialnya. Yang dimaksud Hak dasar tersebut adalah Hak untuk mendapatkan
informasi yang jelas, benar dan jujur, Hak untuk mendapatkan keamanan dan
keselamatan, Hak untuk memilih, Hak untuk didengar, Hak untuk mendapat ganti
rugi dan Hak untuk mendapatkan kebuthan hidup manusia.
Terdapat 4 (empat) alasan pokok mengapa
konsumen harus dilindungi antara lain:
1.
Melindungi konsumen sama artinya
dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan
pembangunan nasional menurut Pembukaan UUD 1945
2.
Melindungi konsumen perlu untuk
menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi.
3.
Melindungi konsumen perlu untuk
menciptakan iklim persaingan yang sehat jasmani dan rohani bagi para pelaku
usaha untuk menjaga kesinambungan pembangunan
nasional.
4. Melindungi
konsumen perlu untuk menjamin dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.
Pada
era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu
menghasilkan beraneka barang dan/jasa yang memiliki kandungan teknologi yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan / jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen; bahwa semakin terbukanya pasar nasional
sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang
dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar; bahwa untuk meningkatkan harkat dan
martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab; bahwa ketentuan
hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai
diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta
perekonomian yang sehat.
Penegakan perlindungan
konsumen harus mendapat perlindungan yang lebih baik, karena investasi asing telah
menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juga
telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat
membawa implikasi negative bagi perlindungan konsumen. Kini transaksi menjadi
beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal
beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas
finansial, dan lain-lain. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling
ketergantungan pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi
melewati batasbatas negara, meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini
dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi.
Dalam
UUPK terdapat 3 (tiga ) Pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk
dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal
23, dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
·
Pasal 19 UUPK merumuskan tanggung jawab produsen/pelaku
usaha sebagai berikut :
a.Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
b.Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nlainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Pasal 23 UUPK adalah produsen tidak membayar ganti
kerugian dalam batas waktu yang telah ditentukan. Sikap produsen ini membuka
peluang bagi konsumen untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan atau penyelesaian
sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
·
Pasal 28 UUPK yang berbunyi sebagai berikut: “Pembuktian
terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha”. Rumusan Pasal inilah yang kemudian dikenal dengan sistem pembuktian
terbalik.
Komentar
Posting Komentar